MASIGNASUKAv101
8010557751319730093

Perjuangan Diplomasi dalam Rangka Mempertahankan Kemerdekaan

Perjuangan Diplomasi dalam Rangka Mempertahankan Kemerdekaan
Add Comments
Monday, 4 December 2017
Berikut ini merupakan artikel penting sejarah Indonesia tentang perjuangan diplomasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia dalam kenyataannya tidak berjalan mulus, terbukti dengan banyaknya peristiwa-peristiwa di daerah yang memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan yang salah satunya berupa jalan diplomasi yang bertujuan semata-mata hanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut ini ulasan tentang perjuangan diplomasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia dalam kenyataannya tidak berjalan mulus, terbukti dengan banyaknya peristiwa-peristiwa di daerah yang memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan yang salah satunya berupa jalan diplomasi yang bertujuan semata-mata hanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut ini ulasan tentang perjuangan diplomasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Belanda dapat dikalahkan, Letjen Christion, pemimpin Sekutu, berusaha mempertemukan pemimpin Indonesia dengan Belanda lewat meja perundingan. Beberapa perundingan yang terjadi sebagai berikut.

1. Perundingan Linggajati


Perjuangan diplomasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
Dalam upaya perdamaian, Inggris mempertemukan Belanda dan Indonesia di Linggajati, sebelah Selatan Cirebon (sekarang Kabupaten Kuningan), Jawa Barat. Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh Van Mook. Hasil perundingan ditan-datangani pada 25 Maret 1947. Isinya sebagai berikut.
  1. Belanda mengakui wilayah Indonesia secara de facto yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura.
  2. Republik Indonesia bersama Belanda bekerja sama membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
  3. Bersama-sama membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Dalam perundingan Linggajati kedaulatan RI diakui secara de facto atas Sumatra, Jawa dan Madura. Ini dapat memperkokoh berdirinya RI di mata dunia, meskipun wilayah dipersempit.

2. Agresi Militer Belanda I


Belanda ternyata tidak mau mengakui kedaulatan RI. Belanda akan menjadikan Indonesia sebagai negara persemakmuran (commonwealth) yang berbentuk federasi. Pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan militer yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I. Wilayah Jawa Barat digempur habis-habisan. Kemudian meluas ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. TNI melawan serangan agresi Belanda tersebut menggunakan taktik gerilya. TNI berhasil membatasi gerakan Belanda hanya di kota-kota besar saja dan di jalan raya.

3. Perjanjian Renville


Agresi Militer Belanda I mendapat reaksi keras dari masyarakat internasional. India dan Austalia mengajukan permohonan kepada Dewan Keamaman PBB supaya sengketa Indonesia-Belanda dimasukkan dalam agenda sidang. Pada 1 Agustus 1947, PBB mengeluarkan perintah gencatan senjata Indonesia-Belanda. Pada 11 Agustus 1947 pemerintah RI yang diwakili oleh Sutan Syahrir dan H. Agus Salim hadir dalam Dewan Keamanan PBB. Perjuangan diplomasi di PBB ini membawa hasil.
Kemudian PBB membentuk "Komisi Tiga Negara" (KTN) yang beranggotakan Australia, Belgia dan Amerika Serikat. Tugas KTN adalah meng-hentikan sengketa RI-Belanda. Indonesia diwakili oleh Australia, Belanda diwakili oleh Belgia, dan Amerika Serikat sebagai penengah.
Perjuangan diplomasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
Perundingan dimulai 8 Desember 1948 di atas kapal Amerika Serikat "USS Renville" yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifudin. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Pada 17 Januari 1948, kedua pihak kembali ke atas kapal untuk menandatangani hasil perundingan. Hasil perundingan itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Renville. Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia karena wilayahnya makin sempit. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut.
  1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
  2. Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal.
  3. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.
  4. Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.
  5. Akan diadakan penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra. Tujuannya untuk menentukan apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS.
  6. Pasukan RI yang berada di daerah pendudukan Belanda harus ditarik ke daerah Republik Indonesia.
Agresi Militer Belanda II

Pada 18 Desember 1948, Belanda di bawah pimpinan Dr. Bell mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi oleh Persetujuan Renville. Pada 19 Desember 1948 Belanda mengadakan Agresi Militer II ke ibu kota Yogyakarta. Dalam agresi itu Belanda dapat menguasai Yogyakarta. Presiden Soekarno pun ditangkap Belanda. Beliau lalu mengirimkan mandat lewat radio kepada Mr. Syaffruddin Prawiranegara. Isinya agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di Bukit Tinggi Sumatra Barat. Dengan demikian, meskipun ibu kota Negara RI telah berhasil diduduki Belanda, pemerintah Republik Indonesia tetap berdiri. Para pejuang tetap melalukan perlawanan terhadap Belanda. Gerilyawan RI dipimpin oleh panglima Soedirman. Mereka menghadang konvoi-konvoi amunisi dan logistik Belanda. Akibatnya, kekuatan pertahanan Belanda menjadi terpecah-belah sehingga pertahanan di dalam kota menjadi lemah. Para gerilyawan untuk melakukan serangan ke pusat kota Yogyakarta. Pada 1 Maret 1949 Brigade X mengadakan serangan umum ke Yogyakarta. Penyerangan ini dipimpin Letkol. Soeharto. Serangan ini memakai sandi "Janur Kuning". Serangan ini dikenal juga dengan "Serangan Umum 1 Maret". Dalam penyerangan ini Tentara Republik Indonesia dalam serangan ini berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam. Tujuan pendudukan Kota Yogyakarta selama 6 jam, antara lain:
  1. Menurunkan mental pasukan Belanda.
  2. Meningkatkan kepercayaan dan semangat juang bagi TNI
  3. Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada

Reaksi terhadap Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer II , 19 Desember 1948 mendapat berbagai reaksi dari dalam maupun luar negeri. Reaksi dari dalam negeri ditandai dengan sikap-sikap berikut.

  1. Negara Pasundan membubarkan kabinetnya karena tidak setuju dengan politik Belanda.
  2. Negara Indonesi Timur, di bawah pimpinan Anak Agung Gede Agung mengadakan sidang kilat. Kemudian mereka membubarkan diri dan menye-rahkan kembali mandat kepada presiden RI.
  3. Negara RI menugaskan LN Palar untuk melaporkan Agresi Militer II kepada Dewan Keamanan PBB.
Reaksi dari luar negeri ditandai oleh adanya larangan kapal-kapal perang dan pesawat terbang Belanda melewati wilayah negaranya. Selain itu, mereka mendukung agar masalah Indonesia-Belanda segera dibawa ke perundingan PBB.

Perundingan dalam Usaha Pengakuan Kedaulatan

Indonesia telah beberapa kali mengadakan perundingan dengan Belanda. Na-mun, perjanjian itu selalu dilanggar oleh Belanda.Selanjutnya, komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI (United Nations Comission for Indonesa) mempertemukan kem-bali Belanda dengan Indonesia di meja perundingan. Perundingan yang ditempuh, antara lain perundingan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar (KMB).

1. Perjanjian Roem-Royen


Perjanjian Roem-Royen ditanda-tangani di Jakarta pada 7 Mei 1949. Pihak Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem dengan anggota Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan Belanda diwakili oleh Dr. Van Royen. Isi perjanjian Roem-Royen sebagai berikut.
  1. Penghentian tembak-menembak antara Indonesia dan Belanda.
  2. Pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
  3. Pembebasan para pemimpin RI yang ditahan Belanda.
  4. Segera mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda.

2. Konferensi Inter-Indonesia (KII)

Konferensi Inter-Indonesia dilaksanakan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB). KII diadakan oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu antara delegasi RI dan BFO (Bijeen komstvoor Federal Overleg). Dalam konferensi ini delegasi RI dipimpin Drs. Moh. Hatta. BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II. Tujuan konferensi ini untuk mempersatukan pendapatan yang akan diperjuangkan dalam KMB. Konferensi ini diadakan dua tahap, yaitu di Yogyakarta pada 19-22 Juli 1949 dan di Jakarta pada 31 Juli 2 Agutus 1949. Hasil dari konferensi ini sebagai berikut.
  1. Negara yang akan dibentuk nanti dinamakan Republik Indonesia Serikat (RIS).
  2. RIS tetap memakai sang Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya dan memakai bahasa nasional bahasa Indonesia.
  3. Tanggal 17 Agustus tetap dijadikan Hari kemerdekaan.

3. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan pada 12 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. KMB dilaksanakan sebagai tidak lanjut dari perundingan Roem-Royen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi Negara Federal atau BFO (Bijenkomst Voor Federal Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. van Maarseveen. Dari UNCI sebagai pengawas dan penengah diwakili oleh Chritchley. Hasil perjanjian KMB sebagai berikut.
  1. Dibentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada RIS pada akhir Desember 1949.
  2. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda.
  3. Irian Barat akan diserahkan kepada RIS setahun setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda.

Pengakuan Kedaulatan

Setelah RIS berdiri, Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden RIS . Ia dilantik pada 17 Desember 1949 di Keraton Yogyakarta. Wakil presiden RIS terpilih Drs. Moh. Hatta. Ia dilantik pada 20 Desember 1949. Pemangku jabatan presiden Republik Indonesia diserahterimakan kepada Mr. Assaat pada 27 Desember 1949. Dalam rangka penyerahan kedau-latan, pada 23 Desember 1949 delegasi RIS berangkat ke Belanda. Delegasi ini dipimpin Mohammad Hatta. Upacara pengakuan kedaulatan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Jakarta dan di Amsterdam, Belanda. Pada 27 Desember 1949 di Amsterdam, Belanda, naskah pengakuan kedaulatan ditandatangani oleh Drs. Mohammad Hatta dan Ratu Yuliana (Ratu Belanda). Naskah pengakuan kedaulatan di Jakarta ditandatangani oleh A.H.J. Lovink dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pada 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan kembali menjadi Negara Kesatuan RI.

Semoga bermanfaat.